Foto ; repro/prpBangkaPost.News | ArtaSariMediaGroup ~ Di tengah gemuruh perubahan zaman, yang datang dengan kemajuan dan modernisasi, Sumatera Barat, tanah kelahiran perempuan Minang yang terkenal dengan falsafah *”Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”* seakan kehilangan arah. Di tanah yang dahulu menjunjung tinggi martabat perempuan sebagai *limpapeh rumah nan gadang*, kini kisah-kisah pilu justru semakin sering muncul dalam pemberitaan. Pembunuhan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual terhadap perempuan Minang, yang seharusnya menjadi penjaga dan pelestari adat, kini hampir setiap minggu menghiasi media.
Contoh terbaru adalah pembunuhan sadis terhadap tiga perempuan muda di Padang Pariaman—SA, Siska, dan Adek, yang ditemukan dalam kondisi dimutilasi. Kejadian serupa terjadi pula di Tanah Datar, di mana seorang siswi MTs ditemukan tewas dalam karung di pinggir jalan. Nama-nama perempuan Minang kini semakin sering terdengar dalam berita tragis, tetapi pertanyaan besar yang terlupakan adalah: **Kenapa mereka terus menjadi korban?**
Ketidakberdayaan yang Berakar dari Hilangnya Identitas Sosial
Menelusuri akar masalah kekerasan terhadap perempuan Minang, kita tidak bisa hanya mengaitkan masalah ini dengan persoalan moral atau kriminalitas semata. Ada isu mendalam yang harus diperhatikan, yakni **soal tanah, pusako, dan hilangnya posisi sosial perempuan dalam struktur adat**. Dalam tradisi Minang, perempuan memiliki tempat yang sangat penting dalam sistem sosial adat. Mereka bukan hanya ibu rumah tangga, tetapi juga pemegang hak waris atas tanah pusaka. Rumah gadang yang megah dibangun atas nama perempuan, dan harta warisan diturunkan melalui garis ibu.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, hal tersebut mulai tergerus. Salah satu indikator perubahan signifikan adalah ketika para *mamak* atau tokoh adat mulai menjual tanah pusaka. Tindakan ini bukan hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga mengancam otoritas dan peran perempuan dalam adat. Tanah yang dijual, rumah gadang yang ditinggalkan, secara simbolik menunjukkan hilangnya tempat perempuan Minang dalam tatanan sosial mereka sendiri.
Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, semakin banyak perempuan Minang yang kini hidup jauh dari kampung halaman, mencari nafkah di perantauan, atau tinggal di rumah kontrakan sempit, tanpa ikatan kuat dengan tanah adat mereka. Hal ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara mereka dengan identitas sosial yang dulu melindungi mereka.
Adat yang Seakan Tersisih: Suara Niniak Mamak yang Hilang
Ironisnya, ketika jumlah kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat, suara adat justru semakin melemah. **Niniak mamak**—para pemangku adat—seakan lebih fokus pada urusan seremonial dan ritual, ketimbang peran mereka dalam menjaga keselamatan perempuan dan masyarakat. Padahal, **adat yang dulu menjadi pelindung perempuan, kini kehilangan kekuatan untuk melindungi mereka dari ancaman kekerasan**.
Perempuan Minang yang dahulu dipuja sebagai penjaga rumah gadang, kini menjadi sosok yang semakin terlupakan dalam diskursus sosial dan adat. Sebagian besar niniak mamak malah terkesan tidak peduli terhadap isu-isu kekerasan yang terjadi pada perempuan. Mereka lebih sibuk memperjuangkan status sosial, bukan menyuarakan hak perempuan untuk hidup dalam perlindungan dan rasa aman.
Di sisi lain, masyarakat pun mulai mempertanyakan relevansi dari slogan *”Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”*. Apakah makna dari adat yang mengklaim melindungi perempuan, jika kenyataannya adat itu tidak mampu mencegah perempuan Minang terus menjadi korban kekerasan? Apa gunanya gelar *limpapeh rumah nan gadang*, jika perempuan Minang terus terpinggirkan, bahkan di tanah yang katanya memuliakan mereka?
Reformasi Sosial untuk Melindungi Perempuan Minang
Kini saatnya untuk berhenti membanggakan kata-kata indah yang terukir di spanduk acara adat, dan mulai bertanya, **siapa yang benar-benar menjaga perempuan Minang hari ini?** Apakah kita hanya terjebak dalam kemegahan seremonial, sementara perempuan Minang terus hidup tanpa perlindungan yang memadai?
Dulu, perempuan Minang adalah pusat dari struktur adat. Namun kini, setelah tanah pusaka dijual dan rumah gadang tinggal kenangan, mereka tidak hanya kehilangan rumah dan tanah, tetapi juga identitas dan perlindungan yang dulu mereka miliki. **Jika perempuan Minang kehilangan tanah, kehilangan rumah, dan kehilangan perlindungan, kita harus bertanya, siapa yang akan menjaga mereka?**
Arah Baru : Mengembalikan Peran Perempuan dalam Sistem Adat
Sistem adat Minang harus kembali diperkuat untuk memastikan perempuan memperoleh hak dan perlindungan yang layak. Jika tanah pusaka tidak lagi dapat menjadi jaminan perlindungan, maka harus ada reformasi dalam tata kelola adat yang memungkinkan perempuan tetap dihargai dan dilindungi. Ini bukan hanya soal mengembalikan status sosial perempuan dalam struktur adat, tetapi juga soal memastikan bahwa perempuan Minang tidak lagi menjadi korban kekerasan yang terus berulang.
Ada satu hal yang perlu kita sadari: jika perempuan Minang tidak lagi memiliki rumah, tanah, atau adat yang melindungi mereka, maka kita harus menciptakan sistem yang baru—sistem yang memastikan mereka tidak hanya dihargai dalam kata-kata, tetapi juga dalam kenyataan sehari-hari. **Perempuan Minang harus kembali menjadi sosok yang dihormati dan dilindungi, baik di rumah gadang, di tanah adat, maupun di luar batas-batas kampung mereka. | BangkaPost.News | */Redaksi | *** |


1 day ago
oke